Bumiayu Darurat Buruh Tani
Berkebun menjadi alternatif kegiatan selama pandemi. Seperti menanam bunga, bonsai dan menanam sayur. Tapi jarang diminati untuk menjadi buruh tani semisal ikut menanam padi (:baca tandur), mencabut dan memindahkan benih pohom padi (:baca ndaut), menyiangi gulma (baca matun) memanen padi (:baca derep).
Hampir semua pekerjaan kebanyakan oleh kaum ibu. Dari lingkungan Kelurahan Adisana usia mereka kebanyakan sudah paruh baya dan sudah memiliki cucu. Dan regerenasi memiliki keahlian bercocok tanam padi pun sangat jarang. Bagaimana di lingkungan kalian? Samakah?
Bagi kaum milenial enggan menjadi buruh tani disebabkan harus bersaing dengan terik matahari, bergelut dengan lumpur kotor dan banyak lebih tertarik menjadi kaum urban memilih ke kota, salah satunya menjadi buruh pabrik. Meskipun sama-sama dengan tenaga besar yang harus dikelurkan dengan peluh keringat. Bagi kaum buruh tani sendiri menarik diri dari profesi lebih banyak faktor keadaan, seperti sakit atau mengurus keluarga. Beberapa diantaranya momong cucu.
Fotografer by Andi Hermanto (Bumiayu) |
Biasanya, jika musim panen sudah sepi, buruh tani bekerja tandur, matun. Upah sampai dhuhur (:baca sebedug) dihargai 30K dan jika sampak sore 50K. Ini sudah termasuk kiriman makanan dari pemilik sawah. Jika makan dari bekal sendiri ditambah 10K.
Jika ikut memanen upah berupa bagi hasil gabah (:bawon). Dengan bawon 1/10 dari hasil derep. Tidak seperti dahulu, tengkulak gabah atau sering disebut warga tukang tebas sudah menyediakan fasilitas mesin perontok padi (tlaser). Lidah warga sering menyebut laser. Pepatah jawa mengatakan salah kaprah bener ora lumrah. Mesin ini ada kelebihan dan kekurangan dibanding dengan cara manual. Cara manual merontokan padi biasanya dengan dipukul-pukul dengan tongkat dan digilas dengan kaki (:ngiles). Namun jika menggunakan mesin harus mengantri dan siapa yang dahulu mereka selesai lebih awal dan yang akhir biasanya tertinggal. Ini terjadi jika ladang sawah jauh dan medan terjal dari jalan raya. Sedangkan jika ngiles manual bisa berbarengan selesai tanpa saling menunggu.
Kesulitan mencari buruh diakui tukang tebas. Kecanggihan tekhnologi mempermudah komunikasi. Biasanya melalui telepon genggam mereka dihubungi dan dikepalai salah satu dari mereka. Dan kendaraan roda dua sering mengantar mereka jika harus di sawah yang jauh dan pulangnya mereka diantar roda empat. Termasuk saat dan pulang akan bagi hasil. Tak ayal akhir-akhir ini tukang tebas rela berbagi THR saat menjelang lebaran idul fitri tiba untuk pegawainya yang sudah setia dan bekerja keras.
Maka tidak heran jika kaum buruh memiliki lumbung padi dirumahnya. Biasanya satu ruangan khusus untuk menyimpan gabah. Gabah bisa disimpan berbulan-bulan setelah dijemur kering dari terik matahari. Selain untuk makan sehari-hari, mereka juga menjual beras atau gabah untuk diuangkan atau ditukar dengan kebutuhan lainnya.
Tulisanne : Qismika Mom
Posting Komentar