Cerpen : Ayam Gak Ada Akhlak
Malam akan segera menepi, adzan shubuh usai dikumandangkan. Hitam masih melekati di bumi, sebentar lagi terang digiring singsing mentari. Dedaunan basah dilapisi bening embun. Begitupun yang jatuh ke bumi berserakan tak mengenal arah.
Kriet, kubuka daun pintu utama. Suara ayam yang sudah berisik sedari tadi. Kini menyisakan bunga lantai yang semerbak busuk. Melihatku memegang sapu dan menggiring kotoran, mereka mendekat. Mungkin akulah pembawa makanan, dari sisa remahan makanan yang berceceran. Crot, satu lagi tai ayam hangat itu menempel dilantai. Tanpa dosa mereka berlalu dengan cap-cap ceker tanpa alas berceceran.
Image by Wolfgang Eckert from Pixabay |
Ah, pemandangan tiap pagi yang menyebalkan. ' Dasar ayam gak sekolah, ayam gak punya otak, ayam gak ada akhlak, ayam gak tahu diri, awas nanti aku goreng' aku terus mengumpat, memaki ayam sepuasnya. Mengurai kesal dan menggerutu sendirian. Udara pagi yang harusnya sejuk tercemari bau tembelek lancung yang aduhai. Hidung yang pesek ini enggan menutup, dan menikmatinya karena sudah biasa.
Kutarik nafas sedalam-dalamnya dan mengeluarkannya perlahan. Sesekali mengucap istighfar agar lebih damai kejiwa. Kotoran yang tak encer kubuangi dengan dialasi daun. Satu demi satu dicimpali. Tanpa menutup hidung. Sedang tai yang encer ku taburi pasir dahulu sebelum nanti aku sisir dengan sapu serabut. Biar aku melanjutnya menyapu halaman di samping rumah dulu. Dedauan kuning rontok berjatuhan diterpa angin.
Hanya empat ayam milik mama, sisanya ayam milik tetangga yang tak terhitung jumlahnya. Belum lagi induk yang menggiring anak ayam yang masih bayik. Mereka lebih galak dan sensitif untuk melindungi anak-anaknya. Pernah sekali buah hatiku dipatuk ayam sampai tangisnya pecah menjerit-jerit.
"Pagi-pagi dapet rejeki nomplok nih" yu Siti menghampiriku
"Iya, kiriman tetangga yang baik hati" jawabku sambil tertawa
"Tapi kan enak dagingnya, jangan mikirin kotorannya" ujar yu Siti seraya menyeringai
" Bikin cepet keriput mah iya, emosi terus bawaanya" aku mulai ketus
" hahaha ini seni bertetangga di kampung, emang dikontrakan Jakarta yang sepetak" Yu Siti membalas.
Yu Siti berlalu begitu saja, melenggang melewati pintu menghampiri mama di dapur. Urusan bisnis menjadi obrolan pagi, mengejar waktu sebelum mama berangkat mengepul dagangan hasil bumi. Yu Siti lah pemilik ayam-ayam kampung itu, mengumbarnya tiap pagi dan mengandanginya saat petang.
**
"Hey, aku sudah kasih sedu bekatul yah, masih saja serakah. Sama seperti penguasa sudah ada jatah masih saja mencari masalah" kesalku dengan makhluk bisa berkokok itu. Ayam-ayam itu terus menguntitku. Sampah yang sudah dikumpulkan dipojok dicakar-cakar dengan kuku kakinya yang tajam. Dedaunan dan tanah kembali berserakan.
Di bagian halaman samping, sapu lidi terus menggiring sampah hingga ke pekarangan. Deg! Tanah berceceran dari pot hitam tanaman aglonema. Aaaargh, aku makin kesal. Kususuri jejeran pot yang kurawat sejak pandemi. Dari menanam Keladi, Miana, Aglonema, Janda bolong, Lidah mertua, lidah buaya, lidah tetangga, lidah netijen eh.
Sudah cukup korban keganasan cakaran ceker sipetok. Sekali mengorek-ngorek tanaman banyak yang tak terselamatkan. Kuraba raut wajahku yang sering tersulut emosi karena ayam. 'Duh, mana skin care, mana skin care! Sedih, tak ada jatah dari suami. Keriput bertambah dan hanya segar diguyur air wudhu jadi penawarnya' aku membatin. Ku tarik nafas perlahan sambil mengurut dada.
Begini hidup berdampingan dengan tetangga di kampung tanpa batas dan aling-aling. Tak ada pagar tinggi untuk menuju rumah, tanpa satuan pengaman menuju tuan rumah. Mengobrol dari pintu ke pintu. Berkelakar di teras tak mengenal arah. Dekat dengan alam, peliharaan dan manusianya. Merawat hidup dekat bersosial, terkadang tetangga bisa jadi saudara bahkan sebaliknya.
**
"Rumah udah kayak kandang kerbau, lantai kotor, bau" Gerutu seru mertua dari balik pintu. Sepulang kerja emosinya terkadang meletup-letup. Matanya membidik kesalahan dan menyulut amarah. Kupura-pura tuli saja agar tak sampai menggores hati. Mungkin mama sedang ada masalah dipekerjaannya, batinku mendinginkan.
Sore tadi sudah ku pel, nyatanya sebelum kering ayam-ayam durjana kembali menguasai teras. Dan cipratan guyuran hujan yang membasahi bumi. Para ayam berteduh menginjak-injak sesuka hati berstempel tapak kaki-kaki. Bertabur crot demi crot tai busuk, ada yang encer dan ada yang kental.
Brak brak!! Mama bergegas membersihi lantai, mengepel ulang lantai. Suara gagang pel yang lelagi menabrak dinding. Barang-barang yang ada disingkir dengan dilempar.
'Tuhan, ajari aku lebih sabar, semoga pandemi ini berakhir. Semoga segera memiliki gubuk sendiri' doa ini mengendap dihati. Lebih baik sementara menghindar, aku dan mama sedang sama baper. Kupandangi jam dinding stiker dari amben kayu dikamar, ditemani buah hati yang sedang bermain boneka.
*
Jendela didorong keluar, biar sirkulasi udara bergantian. Membuka tirai menyingkap fajar. Usai sudah menuang air mendidih ke dalam teko dan menanak nasi. Kali ini mama orang pertama yang membuka pintu. " Syuh syuh!" mama mengusir ayam yang sudah nangkring di atas balai. Segenggam cabe sudah didapat dari polipag samping rumah.
"Ngece!" mama nada tinggi
Segenggam cabai ia letakkan dan mengejar ayam. Daster model kelelawarnya tak menghalangi mama bergerak lincah menangkap ayam. Dua kali putaran halaman samping rumah "Hap" mama berhasil mencengkram kaki ayam. Tak lama setelah itu ditangkap dengan mudah ayam kedua. "To, satu buat mbah, satu buat di rumah" teriak mama. Setelah perintah mama kepada si bungsu untuk dibawa ke tukang potong dan cabut bulu ayam.
" Ra, mama baru keluar, eh kotoran ayam udah nambah 2 di lantai" Raut kesal terlihat jelas. Aku tertawa jahat dalam hati
"iya kan, Ma. Ayam-ayam ngeselin hobi ngrecokin" ujarku. "Biar nanti mama potong semua ayam terus rumah mau dikelilingi pager" ujarnya ketus. "Sudah korban tanaman, tenaga, emosi ya itu rejeki yang dipatuk ayam" aku menyeringai.
Ayam sendiri memang ada dan sering membuat ulah. Ditambah ayam tetangga yang tak terhitung dan silih berganti lebih rese. Daging dan telurnya memang enak, namun proses peliharaannya yang membawa amarah membuat makruh. Selalu ada seni hidup bertetangga dan bersosialisasi, menanggapinya harus bisa seimbang, bisa-bisa masih muda penyakitan. Ah, sudahlah hidup harus dinikmati.
Tulisanne : Qismika Mom
Posting Komentar