Aksi Solidaritas di Bumiayu: Doa Lilin untuk Afan Kurniawan, Simbol Luka Demokrasi
Bumiayu – Ratusan warga Bumiayu menggelar aksi solidaritas dan doa bersama untuk mengenang almarhum Afan Kurniawan, pemuda yang menjadi korban dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Afan meregang nyawa setelah diduga ditabrak dan dilindas kendaraan taktis milik Brimob ketika massa aksi menuntut keadilan dalam sidang rakyat beberapa waktu lalu.
Di pusat kota Bumiayu, aksi solidaritas itu berlangsung pada Selasa malam (29/8) sejak pukul 19.00 WIB. Massa tampak berdatangan dengan membawa lilin dan bunga, serta memajang foto almarhum di tengah kerumunan. Doa bersama dilakukan khidmat, mencerminkan duka mendalam sekaligus kekecewaan atas peristiwa tragis yang merenggut nyawa seorang anak bangsa.
Membludaknya peserta membuat ruas jalan utama kota Bumiayu dipadati ratusan warga, sehingga arus lalu lintas sempat dialihkan. Sejumlah personel TNI terlihat berjaga di berbagai titik untuk mengantisipasi potensi gesekan. Meski suasana cukup tegang, jalannya aksi tetap berlangsung kondusif.
Namun, ketegangan kian terasa saat orator menyuarakan kritik pedas terhadap aparat penegak hukum, terutama kepolisian, yang dianggap gagal memberikan rasa aman dalam berdemonstrasi. Seruan-seruan yang dilontarkan orator menggambarkan kemarahan masyarakat atas hilangnya nyawa di tengah ruang demokrasi yang seharusnya melindungi kebebasan berpendapat.
“Kita berkumpul di sini bukan sekadar menyalakan lilin, tapi menyalakan nurani bangsa. Afan adalah simbol, dan di balik simbol itu ada luka yang dalam dari demokrasi kita,” ujar salah satu orator yang disambut riuh tepuk tangan massa.
Uniknya, aksi ini tak hanya diwarnai orasi lantang, tetapi juga menghadirkan nuansa haru. Rintik hujan yang mengguyur Bumiayu menjelang akhir acara menambah atmosfer emosional. Lilin-lilin yang redup diterpa angin bercampur gerimis menciptakan suasana romantis sekaligus sendu, seolah langit ikut berduka.
Hujan itu tak menyurutkan semangat massa. Sebaliknya, mereka semakin solid dengan saling menutupi lilin agar tetap menyala. Simbol perlawanan terhadap kegelapan ketidakadilan itu menjadi pemandangan yang menyentuh banyak hati.
Aksi solidaritas ini menegaskan bahwa kematian Afan Kurniawan bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tetapi juga pukulan telak bagi demokrasi Indonesia. Di tengah janji reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, peristiwa ini menjadi ironi yang tak bisa diabaikan.
Sebagian warga menilai, aparat negara seharusnya menjadi pelindung, bukan justru menimbulkan korban. “Kalau suara rakyat di DPR dibungkam dengan kekerasan, lalu kepada siapa lagi kita bisa berharap?” ungkap salah seorang peserta aksi dengan nada getir.
Aksi di Bumiayu ini sekaligus memperlihatkan betapa masyarakat akar rumput masih memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib bangsa. Lilin-lilin kecil yang menyala malam itu menjadi simbol harapan agar tragedi serupa tidak terulang, serta peringatan keras bahwa demokrasi sejati hanya bisa hidup jika negara menghormati suara rakyat.
Pada akhirnya, meski diguyur hujan, aksi solidaritas ini berakhir dengan damai. Massa membubarkan diri dengan tertib sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Dari Bumiayu, pesan moral ini terpatri: demokrasi bukan sekadar jargon, melainkan hak yang harus diperjuangkan, meski dengan air mata dan nyawa.
Posting Komentar